Rabu, 27 Januari 2021

Tragedi “Mati Suri” Informasi “1944”

 

1944 Informasi WhatsApps selama dua hari diperbaiki (dok: pribadi)


Tragedi “Mati Suri” Informasi “1944”

(Minggu, 24 Januari 2021)


Selamat Sore Sobat Lage. Kali ini saya ingin berbagi cerita pengalaman tragedi “mati suri” selama tiga hari sejak hari Minggu (24/1/2021) hingga Selasa (26/1/2021). Apa yang saya alami dan rasakan benar-benar membuat saya “mati suri”. Tapi jangan dulu serius ya. Ini tentang “mati suri informasi”.  

Bagaimana ceritanya? Mari kita simak ya! 


Pagi Minggu (24/1/2021), bertepatan dengan libur akhir pekan di minggu ke-tiga Bulan Januari. Kegiatan ku pagi itu membantu pekerjaan anyaman besi untuk pondasi pagar rumah yang baru di mulai sejak tiga hari lalu, tepatnya Jum’at (22/1/2021).


“Belajar sambil bekerja (learning by doing),” pikirku. Padahal jari tangan ini belum terbiasa membuat anyaman besi. “HItung-hitung belajar merangkai besi lah,” kata hati menguatkan diri.  Walau kusadari selama ini jari-jari tangan selalu dimanjakan dengan keyboard laptop usangku. Bermain, bercengkrama, saling tatap, merangkai huruf, dan angka dalam bait-bait kata. Laptop inilah yang selalu ku gunakan untuk bekerja menyelesaikan tugas-tugas profesi dan aktivitas keseharianku.


Menganyam besi menjadi hal baru yang kulakukan. Sadar bahwa memulai sesuatu yang baru, ternyata bisa dibilang mudah bisa juga tidak. “Mudah jika ada niat, kemauan, keberanian, terus belajar dan Istiqomah.” Itu kata ustadz yang mengajari ku mengaji saat di pesantren dulu. Dirasa sulit, karena memang belum tahu ilmu dan caranya saja. Jika sudah paham dan tahu ilmunya maka pekerjaan apa pun tentu akan terasa mudah jika dilakukan dengan hati yang riang.


Lima kata ini yang kujadikan pegangan dalam menjalani setiap aktivitas apapun di luar kebiasaanku. Terus mau belajar dan tidak pernah merasa cukup dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki adalah kata kunci menjadi pribadi yang mumpuni. “Ilmu itu laksana air samudera. Meski kita telah meminumnya, dahaga tidak akan pernah sirna,” batinku.


Sehingganya, aku juga jadi teringat kata-kata Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Agama RI, Prof. Suyitno kala itu, saat memberikan sambutan pada pembukaan “Webinar Nasional Moderasi Beragama” di tahun 2020. Satu kalimat yang terus terngiang hingga saat ini di telingaku. “Seorang guru itu jika ingin maju harus mau dan selalu learn (belajar), relearn (kembali belajar) and always learn (selalu belajar),” katanya.  


Ya, walaupun yang dipelajari tidak terkait dengan tugasku sebagai pendidik. Sebagai pengetahuan dan keterampilan baru sepertinya “menganyam besi” layak untuk dicoba. Selain memang diniatkan untuk membantu mempercepat pekerjaan proses pengecoran pondasi pagar rumah.


Berbalut rasa ragu, cemas dan sedikit takut salah dalam menganyam, sedikit demi sedikit aku selesaikan pekerjaan ku. Hingga selesailah tiga, empat, lima, dan enam tiang besi dapat tegak terpasang di lubang tempat pengecoran yang akan dijadikan tiang pagar.  “Alhamdulillah,” ucapku syukur sambil mengusap wajah.


Saat itu, bayang-bayang surya sepertinya telah tegak lurus di atas kepala. Memaksa aku harus menghentikan aktivitas. Hawanya kurasakan semakin gagah menyengat menguliti kulit hitam ku. Aku pun menepi mencari tempat berlindung menuju salah satu pohon nangka yang ada di samping rumahku.


Sejenak, aku bersandar di batang nangka tua yang aku sendiri tidak tahu pasti kapan ia di tanam. Yang aku tahu batangnya saat ini telah sebesar satu pelukan tangan orang dewasa. Bisa dibayangkan berapa usianya. Perlahan tanganku meraih gawai di dalam kantong celana sebelah kiri yang sejak pagi tadi kupakai menganyam besi.

Tanpa ada rasa was-was dan ragu, kuraih dengan hati-hati gawai yang menemani melantunkan lagu album campursari dari almarhum Didi Kempot kesukaanku. “Wah, jadi penggemar dan Sobat Ambyar nih,” candaku sambil tersenyum.


Gawai yang tadi masih dalam kantong celanaku kini telah berpindah tempat dalam genggaman. Seketika, aku terkejut saat melihat gawaiku tidak dapat untuk melihat isi chat WhatsApp yang selama ini menjadi media komunikasi utamaku. Tampak layar gawai gelap, hitam, pekat menghalangi pandanganku untuk membaca pesan.


Semakin lama semakin gelap, hitam, dan pekat. Hingga tak lagi terlihat chat apapun. Aku pun cemas, karena masih banyak informasi dan tugas penting yang harus kubaca dan aku selesaikan. “Waduh kok bisa begini ya. Apanya yang rusak?” tanyaku sendiri. “Tragedi ini, waduh tragedi!” teriakku lirih sambil berlari ke dalam rumah. Kucoba lakukan prosedur pertolongan pertama pada gawai (P3G), sebagaimana yang kupahami.

Perlahan ku buka baju gawai penutup daya gawai. Lalu ku cabut daya gawai.  Sesaat kemudian kuajak gawai untuk menikmati semilir angin siang yang membelai wajah cemasku. Saat kurasa cukup bermain-main dengan angin, kuletakkan kembali daya gawaiku seperti semula. Baju gawai pun ku pasangkan kembali seperti semula dengan penuh kehati-hatian. “Krek, krek, krek, cekrek” bunyi baju gawai saat kupasangkan kembali. Seandanya ia bisa bicara, tentunya ia akan mengucapkan “terima kasih”.

Kuraba tombol khusus untuk menghidupkan gawai, dengan harapan bisa normal kembali. Harapanya tampilan layar gawai bisa terang seterang siang ini. Dengan harap-harap cemas, kutunggu hingga proses selesai, dan akhirnya, “Yah, tak berubah,” ujarku lirih letih. Gelap, tambah gelap. Tak ada yang bisa dilihat. “Tragedi! Ini tragediku di hari Minggu,” ucapku kembali.

Sekilas mendung hitam bergelayut dalam pikirku. “Bagaimana ini?, apa yang harus kuperbaiki?” tanyaku dalah hati penuh peduli.  Akhirnya ku coba mencari informasi melalui gawai milik istri, dan akhirnya ku temukan jawaban. “Ini harus ganti LCD,” kataku.  

Apa sih LCD itu? LCD adalah singkatan dari Liquid Crystal Display yang merupakan salah satu tipe layar gawai. Ada beberapa tipe layar posel lainnya seperti OLED, AMOLED, TFT LCD, IPS, dan lain sebagainya. Layar gawai ini merupakan salah satu komponen utama dari perangkat gawai yang sering digunakan.

Akhirnya kuputuskan untuk mengirmkan gawai ke tempat service langgananku esok hari, Senin (25/1/2021). Tempatnya lumayan jauh dari kediamannku. Butuh kurang lebih satu jam setengah jika kutempuh dengan kendaraan roda dua. Sedih bercampur harap, semoga gawai kesayangannku bisa segera sehat kembali.

Semenjak berpisah dengannya, kurasakan “Mati Suri” dari segala informasi. Tubuh ini rasanya tak mampu bergerak. Hati ini pun menyusul malas tak bersemangat, menunggu kabar apa yang terjadi. “Bisakah diperbaiki?, ataukah harus sampai di sini,” tanyaku sendiri. Informasi bagiku menjadi sesuatu yang sangat penting dan berharga. Gawai ini telah menemaniku selama enam tahun banyak sekali memberiku informasi baik yang terkait dengan pekerjaan ataupun grup komunitas..

Rasa was-was ini semakin menjadi, disaat teringat ada tugas tantangan yang belum kuselesaikan dalam grup “Lagerunal” yang baru beberapa minggu kuikuti. “Wah, bisa ketinggalan informasi dan materi nanti,” kataku ke istri. Akhirnya di tengah mati suri itu, ku putuskan untuk memakai sementara gawai istri agar informasi masih ku dapatkan meski tidak seleluasa jika menggunakan gawai sendiri. Bisa dimaklumi karena harus berbagi waktu dan kesempatan.

Ya bisa dikatakan saat itu diri ini mengalami “mati suri” informasi”. Dikatakan “mati suri” karena tidak mendapatkan informasi seutuhnya. Ada ruang kosong dan terputus dari pesan informasi yang tidak sampai oleh karena gawai yang belum bisa diperbaiki. Sehingga untuk sementara waktu berbagai informasi harus terhenti tanpa bisa difahami. Menurut KBBI mati suri diartikan dengan tampaknya mati, tapi sebenarnya tidak, mati berangan. Ya, mati berangan akan informasi yang tidak dapat di mengerti dari gawai sendiri yang masih diperbaiki. Tugas-tugas tantangan Lageruna dan pekerjaan pun sedikit terhenti oleh karena putus dan matinya informasi.

Penantian dua hari akhirnya brakhir, saat hati ini menunggu dengan penuh sabar dan rasa was-was yang mendalam. Saat kuterima telephon yang menggembirakan. “Alhamdulillah pak, gawainya bisa normal lagi,” kata tukang service langgananku. “Alhamdulillah.” Ucapku syukur. Air wajah ceria seketika menghiasi wajah ku yang dua hari ini lusuh “mati suri”. Gembira bahwa gawaiku bisa bersamaku lagi.

Aku pun sabar, menggugah rasa keingin tahuanku. Perlahan ku hidupkan kembali gawaiku. Benar saja, cahaya terang benderang berwarna kebiru-biruan terpancar ke luar dari gawaiku. Pertanda bahagia menyambut kedatanganku. Notifikasi WhatsApp pun berdentingan tiada henti, meramaikan penyambutan kegembiraan pertemuan ku kembali, hingga terhenti di angka 1944. Luar biasa dua hari “mati suri” informasi “1944”. “Terima kasih telah kembali,” bisikku merdu.

Salam literasi.


8 komentar:

  1. Mati suri informasi..
    Kata penuh makna.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pengalaman pribadi bu..trmkash sdh berkenan mampir..

      Hapus
  2. Terimakasih sudah berbagi cerita. Saya pun pernah mengalaminya. ( Ai Setiawati

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bu. Untuk menghibur diri..hi3. Terima kasih sdh mampir bu.

      Hapus
  3. Terimakasih sudah berbagi cerita. Saya pun pernah mengalaminya. ( Ai Setiawati

    BalasHapus
  4. Master Imam, trimks share ilmunya. Waduh... membaca judulnya dikira yg mati suri manusia. Ternyata hp... Alhamdulillah hpnya sdh sehat kembali luar biasa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya ambu..sdg hilang cumungut..mati suri informasi..hi3.

      Hapus